Universitas Cenderawasih(UNCEN) berdiri
pada 10 November 1962, dimana sebelumnya lewat kumandang Trikora(Soekarno)
wilayah Papua berhasil dicaplok pada 19 Desember 1961. UNCEN didirikan sebelum
Papua dianeksasikan ke dalam Indonesia tahun 1963 atau sebelum dilaksanakan PEPERA tahun 1969 yang
cacat hukum internasional. Sehingga UNCEN adalah paket untuk menasionalkan
Papua kedalam Indonesia. Pada dasarnya UNCEN kental dengan situasi politik
Papua saat itu.
Kita tanggalkan
sejenak proses sejarah tersebut. Lalu kita lihat UNCEN pada era reformasi ini.
Ditengah gejolak politik Indonesia pada
1997-1998, yakni tuntutan mahasiswa Indonesia untuk menurunkan Soeharto, akibat
krisis yang melanda Indonesia, saat yang sama rakyat Papua juga menuntut
kemerdekaan Papua, dan aspirasi rakyat Papua tersebut dijawab dengan Otonomi
Khusus sebagai solusi jalan tengah untuk konflik politik tersebut. Siapakah
yang menggodok Otsus Papua 2001 itu? Mari lihat alm. Ottow Wospakrik, Agus
Sumule, Musa’ad dan kroni-kroninya. Dimanakah mereka? Masih terus mendidik
mahasiswa? Atau menduduki jabatan politik di tanah Papua? Nilailah sendiri. Lebih
lanjut setelah mendapat perlawanan rakyat Papua, yang menganggap Otsus bukan
solusi penyelesaian masalah di Tanah Papua, pada tahun 2005, 2010. Otonomi
Khusus 2001 kemudian direkonstruksi menjadi Undang-undang Pemerintahan di Tanah
Papua atau yang dikenal dengan Otsus Plus dengan dalih merupakan jawaban atas
tuntutan rakyat Papua tersebut. Namun, hal itu juga mendapat perlawanan oleh
mahasiswa, pada akhir 2013 lalu, karena menganggap itu bukan solusi
penyelesaian masalah ditanah Papua dan juga tidak sesuai dengan amanat UU Otsus
2001 pasal 76 dan 77. Siapa pula yang menggodok Otsus Plus tersebut? Sebut saja
mereka, alm. Rektor UNCEN dan alm. Pembantu Rektor IV UNCEN, (HUMAS UNCEN), dan
akademisi UNCEN lain yang terlibat didalamnya(Otsus Plus versi Akademisi UNCEN).
Lalu dimanakah mereka juga? Selain kini bersembunyi dibalik UNCEN, ibarat
melempar batu sembunyi tangan. Dan mendapat teguran hamba Tuhan: “Para pengajar telah kehilangan hati
nuraninya untuk mendidik mahasiswa”, kata Pdt. S. Nyoman.
Gambaran
tersebut menjadi alasan mengapa “UNCEN
tua tapi awet muda” seperti ujar seorang dosen yang pernah mengajar disalah
satu program studi di FISIP UNCEN, pada tahun 2012 lalu ketika UNCEN genap
berusia 50 tahun. Barangkali ini menjadi sebuah gambaran tentang wajah UNCEN
yang sebenarnya. Mengapa seperti demikian. Sebut berapa dosen yang mengajar pada
setiap Program Studi? Mampukah mereka mengajar selama 3 SKS? Atau 12 Pertemuan
hingga maksimalnya 16 pertemuan? Sepertinya jarang ditemukan. Selain para
cendekiawan UNCEN itu sibuk untuk menggali proyek tawaran Perusahaan yang
hendak masuk ke Papua atau yang telah beroperasi(dari bersyarat hingga tidak)
dosen Uncen siapkan Amdalnya, lihat pula, kebijakan dari Negara Indonesia
kepada rakyat Papua yang selalu menuntut penyelesaian persoalan di Tanah Papua
secara adil dan bermartabat, dosen Uncen kemudian mengambil solusi yang mereka
“anggap” sebagai penyelesaian masalah tersebut, seperti masuk dalam tim
akademisi Otsus Papua 2001 dan Otsus Plus, Unit Percepatan Pembangunan bagi
Papua dan Papua Barat(UP4B), kegiatan politik lainnya, setelah itu mendapat
penghargaan berupa upah yang besar dan tawaran untuk menduduki staf ahli atau
jabatan politik tertentu, lebih lagi untuk menambah uang saku, dosen Uncen membuka
kelas jauh, yang mendapat bayaran hingga miliaran rupiah sekali mengadakan
kuliah hingga yudisiumnya(Kuliah 6 bulan langsung wisuda), bahkan lebih
mengutamakan mereka dibanding mahasiswa yang berstatus regular, yang katanya
miskin dan kurang besar biaya pembayarannya, yang menyebabkan mahasiswa(regular)
terlantar dan dosen akan kembali pada akhir semester, sembari memberi 12 kali
tanda tangan, mengACC kartu kuliah, dan memberi ujian yang sebelumnya kurang
dari 5 kali pertemuan. Lalu awal semester pengajaran seperti layaknya perburuan
waktu proyek, dan dosen sibuk mencari job
diluar kampus yang pasti menggiurkan, dan kemudian pada akhir semester dosen
memaksa mahasiswa untuk belajar dalam sehari(bertatap muka) hingga 4 kali untuk
mengejar waktu yang telah dosen lewati(lalaikan), kemudian mengancam mahasiswa
yang coba memprotes, “kamu yang
memberikan nilai atau dosen”? Hal itu yang kemudian menjadi jerat atau bius
kepada mahasiswa untuk terus melihat realita tersebut. Tri Dharma Perguruan
tinggi dipahami sebagai langkah untuk menggaet berbagai jaringan atau mitra
untuk terus mendapatkan laba. Sedang mahasiswa yang menjadi target pengajaran
dibiarkan begitu saja. Maka tak heran Uncen
dikatakan Tua tapi awet muda.
Sebut berapa dosen yang pernah,
memotivasi mahasiswa untuk menangkan realita disekitarnya? Masyarakat Papua
yang mati tiap harinya, akibat terror dan intimidasi serta kelalai Negara yang
berujung pelanggaran HAM. Adakah dosen yang pernah mengajari mahasiswa untuk
geram melihat sekelompok anak kecil yang berkeliaran di Saga Mall Abepura sambil
menghisap Lem Aibon? Atau mereka yang
“tuna wisma” duduk di emperan toko sambil berjualan atau meminta? Atau
mama-mama Papua yang berjualan beralaskan karton, karung beras, hingga terkena
debu jalanan hanya untuk menghidupi kebutuhan hidupnya atau kepada anaknya yang
berpendidikan?
Selain dosen dan kampus ini meneror
mahasiswa, seperti yang terjadi pada tanggal 12 Oktober 2015(jika tidak salah)
yakni Rektor mengeluarkan 6 aturan khusus bagi mahasiswa. 1. Mahasiswa dilarang
menebang, membawa kayu dalam lingkungan kampus; …. 6. Mahasiswa dilarang
memalang kampus, dan jika melanggar akan berhadapan dengan pihak berwenang.
Siapa juga yang berani mengelak hal
itu? Selain mereka(Mahasiswa) yang hanya menolak aturan itu dengan memalang
kampus. Tetapi, siapa(dosen) yang pernah memarahi dosen, yang tinggal pada
perumahan milik kampus UNCEN yang meluaskan wilayah rumahnya dengan membangun
halaman parkir, membuat taman, kebun ataupun ternak-ternak kecil, hingga
tinggal layaknya rumah pribadi? Atau adakah dosen yang merangsang mahasiswa
untuk memprotes Papan iklan REKTOR UNCEN yang memberi selamat Hari Sumpah
Pemuda 28 Oktober 2015 yang dipasang pada papan iklan padang bulan, dekat
kampus USTJ? –Papan iklan yang masih terpasang hingga sekarang– Darimanakah
uang pamasangan iklan itu? Jawabannya mungkin ada pada tanggal 17-19 November
2015, ketika mahasiswa menuntut kampus agar mengembalikan uang mereka akibat
pungutan liar dan dijawab dengan pengembalian uang tuntutan mahasiswa tersebut.
Jadi teringat pada awal SPP tunggal(Uang Kuliah Tunggal-UKT) itu dijalankan
dengan alasan mengatur Pembayaran iuran kuliah satu kali dalam setiap semester
hingga lulus kepada mahasiswa. Dan sesuai dengan surat edaran Dikti pada 5
Februari 2013(Nomor 97/E/KU/2013), kebijakan ini akan diberlakukan pada tahun
2013. Lalu mengapa hal ini diberlakukan pada UNCEN sejak tahun 2012? Melihat
hal ini, dosen siapa yang berani untuk memprotes hal tersebut atau membenarkan
tuntutan mahasiswa tersebut? Selain saling mendikte satu sama lain seperti yang
terjadi ketika pihak kampus datang untuk menenangkan mahasiswa yang berdemo
saat itu(17/11-2015). PR II menyalahkan PR III, sebaliknya nanti PR III akan
menuduh Rektor dan begitulah seterusnya, karena merekalah yang memegang “kunci” itu sendiri.
Setiap tahun, pada penerimaan mahasiswa
baru. Nasihat dari pimpinan kampus UNCEN pasti sama saja, “Belajar yang baik,
selesaikan kuliah dalam 4 tahun atau cepatnya 3 tahun, kemudian kembali untuk
membangun daerah”. Bahkan senior-senior yang dianggap berhasil didatangkan pula
dengan alasan menjadi motivasi dan juga memberi motivasi yang sama pula. Pertanyaannya?
Dimanakah 5000an sarjana UNCEN yang diwisudakan? Untuk apa FKIP, jika para guru
terus didatangkan dari luar Papua? Untuk apa Fakultas Kedokteran, jika tenaga
ahli medis didatangkan terus tiap tahunnya dari luar Papua? Bahkan para pasien
dibiarkan terlantar, dengan jumlah fasilitas yang minim ditengah gelontoran
milyaranan dana Otsus hingga RS. Abe yang sempat diliburkan dua hari pada
tanggal 24 dan 26 November 2015 dengan alasan stok air habis. Aneh. Lalu untuk fakultas Hukum, jika
melihat aparat polisi terus memasuki wilayah kampus tanpa ada kajian
terhadapnya? Padahal, sikap arogan polisi tersebut telah melanggar UU no. 9
tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat dimuka Umum, dan juga UU.
No 12 tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa, yang menyatakankan kampus
adalah lembaga ilmiah dan bebas dari kotrol aparat polisi.
Eko Prasetyo dalam tulisannya sama
dengan situasi dikampus UNCEN kini, bahwa hanya ada tiga isu penting:
Mengingatkan Pembayaran, Menganjurkan menjaga lingkungan, dan Menginformasikan
kegiatan, dan ini mudah terdapat pada setiap pojok keramaian mahasiswa. Mahasiswa
UNCEN dewasa ini menjadi salah satu daya tarik dari berbagai lembaga
pemerintahan maupun lembaga non pemerintahan. Ini terlihat dengan ditawarkannya
berbagai kegiatan ekstrakulikuler hingga berbagai kegiatan akademisi yang
tujuannya adalah konon untuk berbagi pengetahuan hingga kerjasama kepada
mahasiswa. Tidak heran bila dalam setiap even-even besar mahasiswa, pasti ada
sponsor-sponsor tertentu yang datang untuk menggaet kegiatan mahasiswa
tersebut. Mulai dari pengadaan barang dan jasa yang tujuannya adalah untuk
memenuhi kebutuhan lapangan mahasiswa, dan tak jarang pula menggunakan
mahasiswa ataupun senior dan alumni UNCEN yang dianggap popular untuk menjadi
daya tarik tersendiri terhadap sponsor dukungan itu. Hal ini berdampak jauh
terhadap independensi mahasiswa yang seharusnya tidak terkooptasi dengan
kepentingan elit manapun dan sejalan dengan Pedoman Organisasi mahasiswa
sebagai tercantum dalam Kepmendikbud no. 155 tahun 1998, dan AD/ART Kabesma UNCEN
sendiri. Dalam keadaanya terlihat juga ketika lembaga UNCEN juga memainkan
perannya terhadap niat yang dianggap “baik” oleh elit-elit tertentu tersebut,
dengan membiarkan keadaan itu terus menghujani organisasi mahasiswa.
Melihat
dinamika diatas, mahasiswa UNCEN pada akhirnya menjadi pasrah dengan keadaan
tersebut sehingga menganggap ini adalah sebuah kebiasaan serta rutinitas dan
atau melatih kepopulerannya yang pada nantinya menjadikan ini sebagai panggung
untuk turut menghancurkan independensi mahasiswa itu sendiri. Maka, jelaslah
pernyataan yang dikeluarkan Presiden Mahasiswa USTJ, pada demo 26 Juni 2015
dihalaman DPR Papua bahwa “Mahasiswa STOP Melacurkan diri” sebuah pernyataan
yang sesungguhnya menjadi gambaran umum tentang mahasiswa Papua (red. Jayapura)
saat ini.
Selain
itu, dalam menjalankan tugas kepengurusan mahasiswa(BEM dan MPM UNCEN) kemudian
menaikkan iuran SMPT dari Rp. 20.000,- menjadi Rp. 50.000,- dengan alasan
menunjang dinamika dan aktivitas mahasiswa UNCEN seperti yang terpampang pada
baliho di halaman kampus UNCEN Abe. Dan kenaikan iuran UKT Mahasiswa atau SPP
dianggap sebagai suatu penyesuaian terhadap keadaan zaman atau modernisasi dan
juga untuk pengembangan rutinitas kegiatan mahasiswa. Yang menjadi soal?
Dimanakah Miliaran uang mahasiswa yang sebelumnya dikenakan biaya Rp. 20.000,-
x ±5000an mahasiswa yang tidak sebanding dengan kegiatan dan pengeluaran
mahasiswa, dan atau SPP tunggal(Uang Kuliah Tunggal-UKT) yang pembayarannya
diluar kemampuan orang tua mahasiswa dan pembayaran SPP tunggal(Uang Kuliah
Tunggal-UKT) tersebut masih saja diselingi dengan pungutan liar dari dosen
tertentu –yang tidak sesuai dengan rincian pembayaran SPP tunggal(Uang Kuliah
Tunggal-UKT)– tanpa ada pengawasan dari pihak pimpinan kampus sehingga ini
tampak seperti pembiaran sistematis. Belum lagi jika bertanya kepada lembaga
Uncen, dimanakah Uang Triliunan dana Otsus untuk kebijakan afirmatif dibidang
pendidikan(30%), tentu Uncen mendapatnya bukan? Apalagi Uncen adalah
pemikirnya. Bagaimana jika ditanyakan, dimanakah bantuan dari pusat,
kementerian Pendidikan? Atau bantuan dari mitra-mitra lain? Dimana uang
tersebut? Lalu penggunaan sarana atau tempat kegiatan Ilmiah Mahasiswa yakni
Auditoirum yang masih selalu saja dijadikan sebagai sarana pernikahan
persorangan hingga pernikahan masal buatan pemerintah, dengan biaya pembayaran
yang mahal, kisaran puluhan hingga ratusan juta pun lenyap tanpa ada kejelasan
dana tersebut, atau setidaknya uang tersebut digunakan untuk operasinal
peningkatan mutu organisasi mahasiswa.
Dari
kejadian tersebut, maka tidak aneh jika lembaga UNCEN terus sibuk untuk
merombak dan mengintervensi gerakan mahasiswa sebagaimana pada papan yang
pernah dipasang pada pagar kampus UNCEN waena pada point keenam, yakni “mahasiswa dilarang berdemo, dan jika
melanggar akan berhadapan dengan pihak berwenang” hingga penguluran waktu
pelantikan pimpinan mahasiswa, penundaan bahkan penolakan terhadap suatu
kegiatan mahasiswa yang dianggap berlawanan dengan kepentingan kampus. Dan jika
tidak ada mahasiswa yang kritis terhadap hal yang dianggap adalah suatu
masalah, maka beginilah keadaannya.
Sehingga tak ada salahnya UNCEN
dijadikan tempat untuk basis massa demonstrasi, pagarnya dijadikan tempat untuk
melawan pemerintah dan atau dijadikan tempat sebagai tawaran solusi kebijakan
ditanah Papua. Karena UNCEN adalah lembaga Koorporasi berwajah Institusi Pendidikan.
LAWAN!!!
“Tak ada kepentingan apapun dalam penulisan
ini, namun ini menjadi sebuah catatan yang setidaknya (diharapkan) membawa
perubahan dikampus Uncen, sesuai dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang
selayaknya dan Perguruan Tinggi yang sesuai dengan kebutuhan Rakyat Papua
dewasa ini”
Samuel Womsiwor, Sekjen GempaRKuliah di Universitas Cenderawasih sejak 2011
Referensi:
UU no. 21
Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua
UU no. 9 Tahun
1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat dimuka Umum
UU no. 12
Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa
Musa’ad
Muhammad(2004) “Menguak Tabir Otonomi Khusus Papua”. Bandung: ITB
Musa’ad Muhammad
(2012). “Quo Vadis Otsus Papua, Diantara Tuntutan rekonstruksi dan referendum”,
Bandung: Thafa Media.
Hok Gie Soe(1986).
“Catatan Harian Seorang Demonstran: Soe
Hok Gie”. Pustaka LP3ES
Prasetyo Eko,
(2015), “Bangkitlah Gerakan Mahasiwa”
. Malang: Intrans Publishing
Tulisan: Yason
Ngelia, 2013. “UNCEN dan Otsus Papua”,
Google: Tabloidjubi.com, Majalahselangkah.com, Suarapapua.com,
Cenderawasih Pos, Facebook
Referensi
Lapangan:
Demostrasi 26
Juni 2015, dihalaman kantor DPRP.
Keluhan-keluhan
dari teman-teman mahasiswa
Wawancara, 2
Narasumber, untuk kasus RSUD Abepura dan Kasus Pungli UNCEN, pada 12 Desember
2015.
Hasil Diskusi
dengan aktivis mahasiswa Uncen, pada 15 Desember 2015, di Kampus FISIP UNCEN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar