Jaya Asri Entrop: Layaknya Kampung Halaman dalam
ingatan yang mempesona
“Masa Kecil dan perjumpaan dengan Thaha M. Alhamid yang tak
kukenal”
Mereja generasi saat ini tak pernah merasakan
dimarahi dan dikejar dengan kayu, dicubit, dipukul, dan terkadang harus dibiarkan
tidur(malam) depan teras rumah, akibat lalai dengan nasihat orang tua.
Mereka tak pernah merasakan, sepulang sekolah dengan
menggunakan seragam [Sekolah Dasar(SD) atau sampai Sekolah Menengah
Pertama(SMP)] lalu pergi bertamasya ke kali yang kini dijadikan Air Minum
Kemasan di Kota Jayapura(Qualala), atau kali entrop, dengan bermain petak umpet
dalam air, lalu makan makanan hasil curian kebun mama-mama yang berjualan di
Pasar Mama-mama Papua atau mama Papua yang sering berjualan di terminal entrop,
yang pula mengejar dengan sebuah parang dan terkadang panah. Mereka jarang pula
memakan mie instan mentah akibat kelaparan yang melanda setelah menyusuri
lebatnya hutan pegunungan dofonsoro, sampai sempat tersesat akibat lupa arah
jalan pulang, atau melewati jalan-jalan setapak yang kini dijadikan jalan
alternative di kota Jayapura yang kemudian menjadikan bukit-bukitan jalan
alternative sebagai wisata bermain out
bond layaknya mobil roda gila di Papua Trade Center(PTC) yang hanya
menggunakan karung atau pelepah pohon kelapa sambil meluncur dengan kecepatan
60 KM/h. Inilah yang layak dinamakan My Trip My Adventure, meski kini baru disadari.
Lalu kisah pergi mencari bola-bola yang hilang
disekitaran lapangan tenis walikota. Atau dilanjutkan dengan bermain bola
layaknya striker Thierry Henry atau kipper Buffon dengan gawang yang
menggunakan sepasang sandal swallow, tanpa ada batasan waktu 2x45 menit dan atau
malam sebagai symbol habisnya waktu bertanding, dengan ukuran lebar dan panjang
lapangan dibatasi oleh pohon atau kadang tembok rumah warga, yang kemudian oleh
luapan kegembiraan itu, warga merasa tak nyaman, akhirnya mengejar dengan motor
sambil mengeluarkan umpatan emosional, atau terkadang pada lapangan satunya,
yakni satpam yang menjaga bersihnya lapangan walikota Jayapura kala itu yang
stress akibat lapangan upacara dijadikan lapangan sepakbola pula. Dan
menjadikan pipa bocor sebagai air minum pelepas dahaga.
Atau bermain Gasing dengan menggunakan bahan Botol
pilox, dengan penutup ember sebagai arena tanding kalah dan menang, yang kadang
bersikap china dengan menjualnya pada
anak-anak kala itu(generasi kini) untuk membeli mie instan sebagai tenaga
penambah guna melanjutkan waktu bermain. Terkadang sambil bermain gasing juga,
biasa kartu joker atau gaplek kami gunakan sebagai sarana konsolidasi saat itu
untuk berkumpul.
Atau kemudian yang kini masih menjadi demam sebagai
reuni yaitu, bermain Pro Evolution Soccer(PES) atau Bola Play Station sebagai
ajang pertarungan kemampuan kick and rush(Strategi).
Dimana dalam seminggu ketika itu, kami dapat menjelajahi luasnya entrop hingga
bucend sambil berjalan ria, hanya untuk bermain game tersebut. Hingga bermain yang kadang kami sebut dengan “Liga”,
hingga berhari-hari tanpa henti. Dan kemudian menanamkan mimpi-mimpi agar kelak
anak-anak kami dapat mengambil jejak yang sama. Tak heran jika dikampus kini saya dikenal sebagai be gamers.
Dari semua itu ketika pulang capek akibat bermain
kadang waktu untuk belajar harus digunakan untuk tidur, tapi prestasi dalam
ruang belajar tetap menjadi yang terdepan.
Dari kisah itu, semua terasa indah tanpa ada batasan
ruang dan waktu, bila mengenangnya dengan tulisan yang tak panjang ini.
Namun miris jika saya tak menyampaikan maksud punulisan
ini, yakni kisah yang menjadi keanehan terhadap pribadi saya. Adalah perjumpaan
dengan seorang teman yang bapaknya adalah tokoh pejuang besar di Tanah Papua,
tokoh yang dalam masa mudanya memperjuangkan kemerdekaan Papua dengan damai.
Dan kini sosoknya masih dikenang dan masih akan terus berjuangan untuk
pembebasan tanah ini. Ia Thaha Alhamid. Makan bersama dengan ia, cerita, dan
kadang mempersilahkan untuk tidur dirumahnya, hanya untuk bermain, Bola PS atau
bola sungguhan, bersama anak lelakinya. Terasa indah. Tapi sekali lagi aneh
karena saya tak mengenal Thaha Alhamid seperti perspektif rakyat Papua saat itu
dalam mengenalnya. Saya tak tahu siapa dia? Orang seperti apa dia? Pekerjaannya
apa? Dan lain sebagainya. Yang saya tahu dengan semua teman-teman, ia adalah
bapak teman saya, orang yang baik, akrab, ramah, yang pasti bermain dirumahnya
adalah dapat service baik, dari datang
hingga pulang.
Semua kilas balik untuk mengenal Thaha M. Alhamid
serta memahami kehidupan yang sesungguhnya tentang Papua yaitu ketika saya berada
dikampus yang penuh dengan jati diri pembebasan(seharusnya, red. saat ini),
yakni Universitas Cenderwasih. Sebab saya berangkat dari keluarga yang jarang
bahkan tak pernah berbagi tentang sejarah kebenaran Papua itu. Semua tentang
hubungan teman saya dan Taha Alhamid baru saya ketahui pada tanggal 2 Januari
2016 kemarin, ketika kami berjumpa kembali dalam suasana liburan. Bahwa
ternyata ia adalah anak Thaha M. Alhamid.
Dan bila saya menoleh kebelakang dan berbalik
memandang kedepan, maka “Berbahagialah mereka
yang sadar akan sejarah penindasan dan semua penipuan berkedok kehidupan alami
atas tanah ini, dan memilih jalan untuk berjuang kepada sesuatu yang
benar-benar, benar”. Berjiwa bangsa, adalah solusi untuk merangkul semua
yang berjiwa realistis untuk pembebasan tanah ini.
Ini ceritaku
Samuel Womsiwor
Sekretaris Jenderal
GempaR Papua
kk salut dengan adik punya tulisan, seperti meraingkai kata dalam Novel.
BalasHapusMasa lalu yang sangat luar biasa....
BalasHapusBuat kami kembali ingat masa itu...