TEPER
(Terbawa Perasaan)
Samuel
Womsiwor
Biro
Hukum dan HAM – BEM FISIP Uncen, 2015/2016
Sekretaris
Jenderal GempaR
TEPER, ini berawal dari
curhat mengenai kondisi kawan-kawan semasa SMA, yang menyalami banyak cerita
cinta, sebabnya ini menjadi alasan mengapa tulisan ini diberi judul demikian.
Untuk kawan, Kadav, van Bone, Dista, Ari, pada awal
tahun, lewat waktu cerita yang tak begitu banyak, kalian membawaku berpikir
tentang alam Papua yang begitu masyhur ternyata adalah benar. Setiap peluang
pasti ada jawabannya. Setiap usaha pasti ada hasilnya. Kalian berpikir
bagaimana bisa memanfaatkan waktu serta kearifan kalian untuk setidaknya
mendapatkan uang demi kelangsungan hidup kalian diatas tanah ini. Kalian rela
pergi jauh kemanapun, ditempatkan dimana saja untuk segudang impian yang begitu
baik yakni bisa BERDIKARI. Hal yang jarang saya jumpai untuk saudara-saudara
saya.
Sampai disini, saya gariskan adalah jalur sebuah
kemapanan.
Tetapi yang sangat
mengherankan, hampir semua saudara saya jarang mengambil sikap seperti itu,
karena “mungkin” mereka anti kemapanan, hehehe. Tetapi ketika saya bertanya
pada mereka mengapa tak bekerja(untuk apa saja, sehingga tak “begini-begini
saja”), alasannya sederhana, 2020 adalah waktu bagi mereka untuk bekerja, yakni
dilaksanakannya Tes Calon Pegawai Negeri Sipil(CPNS), yang belum tentu juga
meluluskannya (akibat deskriminasi), seperti kata Ruben Gwijangge dalam kliping
ilmiahnya (2014: 93-121). Sehingga tak mengherankan:
ü
ketika
saya hendak ke Bank (Papua, Mandiri, BRI, dll) – Saudara saya jarang bahkan tak
ada disana yang bekerja –,
ü
ketika
saya hendak naik pesawat – Saudara saya jarang bahkan tak ada disana yang
bekerja –,
ü
ketika
saya hendak makan di warung – Saudara saya jarang bahkan tak ada disana yang bekerja
–,
ü
ketika
saya hendak naik taksi – Saudara saya jarang bahkan tak ada disana untuk
bekerja –,
ü
ketika
motor saya rusak dan hendak ke bangkel(resmi dan tak resmi) – Saudara saya
jarang bahkan tak ada disana yang bekerja –,
ü
bahkan
semua bidang-bidang pekerjaan kini, jarang saya jumpai saudara-saudara saya
disana.
Dari peristiwa diatas mungkin jawabannya sederhana
yang dilontarkan sebagai pembelaan mereka, ini adalah tanah kami, atau saudara
kami ada banyak(yang menduduki jabatan pada instansi tertentu) sehingga tak
mungkin susah, atau malu dan minder untuk bekerja pada bidang-bidang seperti
itu. Lainnya semua didasarkan pada perasaan tak mampu, tak dapat bekerja dan
menduduki bidang-bidang seperti itu. Ini jelas adalah sebuah proses HEGEMONI
penguasa(Negara Indonesia) terhadap rakyat Papua, yang secara sadar sedang
terjadi. Dan ini merupakan proses yang berlangsung lama sejak dianeksasinya
Bangsa Papua ke dalam Indonesia, dimana rakyat Papua selalu di-stereotype-kan sebagai orang tak mampu,
bodoh, primitif dan hinaan lainnya, seperti Kata R. Osborne dan Filep Karma
dalam buku mereka. Hingga proses Papuanisasi juga dalam pemerintahan di Papua
pun sama saja dalam era otonomi khusus, yang konon akan menjawab keterlibatan (saling
membantunya) Orang Papua dalam mengisi pembangunan (Muridan, 2008: 9-11). Oleh
sebabnya usaha untuk mengharapkan sebuah kesetaraan akan tampak jauh. Sehingga
semua usaha untuk menjadi “Tuan” atas negeri sendiri seperti kata “Kaka” Bas
Suebu dan para birokrat Papua lainnya serta untuk menjadi daerah yang bebas
dari sikap despotisme tampak menjadi cita-cita utopis.
Mari lihat peristiwa Revolusi di Perancis,
penggerakanya adalah rakyat Jelata yang mampu bekerja pada semua bidang kerja
kaum Bangsawan, atau Revolusi Rusia yang penggeraknya adalah kaum proletar,
yang mampu mengisi bidang-bidang yang saat itu menjamah seluruh wilayah rusia,
padahal 70% penduduknnya buta huruf. Atau yang digunakan Soekarno untuk
revolusi kemerdekaan Indonesia dengan Marhaennya, rakyat yang ia juluki rakyat kecil
dengan segala kekayaan SDA yang ada, padahal umumnya juga tak bisa membaca dan
menulis. Semua revolusi itu karena rakyat mampu mengisi semua ruang gerak kerja(bukan
dengan sikap tak bisa ini dan itu) yang pada prinsipnya pada waktu tertentu akan
bergerak bersama, untuk menentukan maju atau mundurnya sebuah syarat revolusi
atau untuk menjawab dan menentang penguasa.
Dan bila menilik masalah Papua saat ini, maka sikap
dominasi dari kelas yang kuat(dominan) akan membentuk
kekuatan kolektif untuk selalu menekan yang lemah yakni orang Papua sendiri,
melalui genggaman ideologinya(HEGEMONI), dan kesadaran agar bangkit melawan pada dasarnya
dari kelas bawah, untuk
menekan sikap dominasi kelas penguasa, tentu membutuhkan waktu yang lama, sulit
dan penuh dengan pertentangan, dan kesetiaan
orang Papua benar-benar diuji.
Dua kutub yang berbeda yakni ketika berhadapan
dengan kawan-kawan saya tadi yang memilih bahwa setiap waktu adalah peluang,
keberanian untuk mendapatkan apa saja yang dicita-citakan dengan saudara-saudara
saya yang malu dan menganggap diri tak bisa. Ditarik sebuah kesimpulan bahwa
yang sedang bergulat atas tanah ini adalah kelas Penguasa(MODAL) dan kelas yang
dikuasai.
Sehingga untuk menjawab persoalan Papua, perlu untuk
merebut semua bidang-bidang yang menjadi syarat sebuah revolusi dengan membuang
HEGEMONI(sikap dan stigma) dari para penguasa dengan yakin bahwa semua orang
Papua adalah mampu(kaum intelektual). Dan pada dasarnya, semua bidang-bidang
ini harus bersatu untuk melawan. Guru
adalah buruh, PNS adalah buruh, Perawat adalah buruh, dan buruh adalah rakyat
Papua yang sedang dipekerjakan oleh penguasa(Negara Indonesia) untuk terus
melancarkan proses kekuasaanya secara menyeluruh di Tanah Papua dengan gaya
neo-kolonialismenya. Sehingga pada waktu tertentu(waktunya Tuhan), rakyat
Papua sadar betul akan kebutuhan kebebasan dan berhak melaluinya.
Referensi:
1.
Listiyono,
dkk(2015). “Epistemologi Kiri”,
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
2.
Andi
Rafael Saputra(2014). “Dari Uni Soviet
hingga Rusia”, Yogyakarta: Palapa.
3.
Nicholas
Abercombrie, Stephen Hill, S. Turner Bryan(2010). “The Penguin Dictionary of Sociology”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
4.
Ruben
Gwijangge(2013). “Indonesia Memiskinkan
Bangsa Papua”. Papua Barat” Cenderawasih Press.
5.
Osborne
Robin(2001). “Kibaran Sampari”.
6.
Widjoyo Muridan S.
(2009). “Papua Road Map - Negotiating the Past, Improving
the Present and Securing the Future” TIM Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia(LIPI), Jakarta: Pusat Penelitian Politik(P2P) LIPI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar