Senin, 11 Januari 2016

MASA KECIL DAN PERJUMPAAN DENGAN THAHA M. ALHAMID YANG TAK KUKENAL

Jaya Asri Entrop: Layaknya Kampung Halaman dalam ingatan yang mempesona
“Masa Kecil dan  perjumpaan dengan Thaha M. Alhamid yang tak kukenal”

Mereja generasi saat ini tak pernah merasakan dimarahi dan dikejar dengan kayu, dicubit, dipukul, dan terkadang harus dibiarkan tidur(malam) depan teras rumah, akibat lalai dengan nasihat orang tua.
Mereka tak pernah merasakan, sepulang sekolah dengan menggunakan seragam [Sekolah Dasar(SD) atau sampai Sekolah Menengah Pertama(SMP)] lalu pergi bertamasya ke kali yang kini dijadikan Air Minum Kemasan di Kota Jayapura(Qualala), atau kali entrop, dengan bermain petak umpet dalam air, lalu makan makanan hasil curian kebun mama-mama yang berjualan di Pasar Mama-mama Papua atau mama Papua yang sering berjualan di terminal entrop, yang pula mengejar dengan sebuah parang dan terkadang panah. Mereka jarang pula memakan mie instan mentah akibat kelaparan yang melanda setelah menyusuri lebatnya hutan pegunungan dofonsoro, sampai sempat tersesat akibat lupa arah jalan pulang, atau melewati jalan-jalan setapak yang kini dijadikan jalan alternative di kota Jayapura yang kemudian menjadikan bukit-bukitan jalan alternative sebagai wisata bermain out bond layaknya mobil roda gila di Papua Trade Center(PTC) yang hanya menggunakan karung atau pelepah pohon kelapa sambil meluncur dengan kecepatan 60 KM/h. Inilah yang layak dinamakan My Trip My Adventure, meski kini baru disadari.

Lalu kisah pergi mencari bola-bola yang hilang disekitaran lapangan tenis walikota. Atau dilanjutkan dengan bermain bola layaknya striker Thierry Henry atau kipper Buffon dengan gawang yang menggunakan sepasang sandal swallow, tanpa ada batasan waktu 2x45 menit dan atau malam sebagai symbol habisnya waktu bertanding, dengan ukuran lebar dan panjang lapangan dibatasi oleh pohon atau kadang tembok rumah warga, yang kemudian oleh luapan kegembiraan itu, warga merasa tak nyaman, akhirnya mengejar dengan motor sambil mengeluarkan umpatan emosional, atau terkadang pada lapangan satunya, yakni satpam yang menjaga bersihnya lapangan walikota Jayapura kala itu yang stress akibat lapangan upacara dijadikan lapangan sepakbola pula. Dan menjadikan pipa bocor sebagai air minum pelepas dahaga.
Atau bermain Gasing dengan menggunakan bahan Botol pilox, dengan penutup ember sebagai arena tanding kalah dan menang, yang kadang bersikap china dengan menjualnya pada anak-anak kala itu(generasi kini) untuk membeli mie instan sebagai tenaga penambah guna melanjutkan waktu bermain. Terkadang sambil bermain gasing juga, biasa kartu joker atau gaplek kami gunakan sebagai sarana konsolidasi saat itu untuk berkumpul.
Atau kemudian yang kini masih menjadi demam sebagai reuni yaitu, bermain Pro Evolution Soccer(PES) atau Bola Play Station sebagai ajang pertarungan kemampuan kick and rush(Strategi). Dimana dalam seminggu ketika itu, kami dapat menjelajahi luasnya entrop hingga bucend sambil berjalan ria, hanya untuk bermain game tersebut. Hingga bermain yang kadang kami sebut dengan “Liga”, hingga berhari-hari tanpa henti. Dan kemudian menanamkan mimpi-mimpi agar kelak anak-anak kami dapat mengambil jejak yang sama. Tak heran jika dikampus kini saya dikenal sebagai be gamers.
Dari semua itu ketika pulang capek akibat bermain kadang waktu untuk belajar harus digunakan untuk tidur, tapi prestasi dalam ruang belajar tetap menjadi yang terdepan.
Dari kisah itu, semua terasa indah tanpa ada batasan ruang dan waktu, bila mengenangnya dengan tulisan yang tak panjang ini.
Namun miris jika saya tak menyampaikan maksud punulisan ini, yakni kisah yang menjadi keanehan terhadap pribadi saya. Adalah perjumpaan dengan seorang teman yang bapaknya adalah tokoh pejuang besar di Tanah Papua, tokoh yang dalam masa mudanya memperjuangkan kemerdekaan Papua dengan damai. Dan kini sosoknya masih dikenang dan masih akan terus berjuangan untuk pembebasan tanah ini. Ia Thaha Alhamid. Makan bersama dengan ia, cerita, dan kadang mempersilahkan untuk tidur dirumahnya, hanya untuk bermain, Bola PS atau bola sungguhan, bersama anak lelakinya. Terasa indah. Tapi sekali lagi aneh karena saya tak mengenal Thaha Alhamid seperti perspektif rakyat Papua saat itu dalam mengenalnya. Saya tak tahu siapa dia? Orang seperti apa dia? Pekerjaannya apa? Dan lain sebagainya. Yang saya tahu dengan semua teman-teman, ia adalah bapak teman saya, orang yang baik, akrab, ramah, yang pasti bermain dirumahnya adalah dapat service baik, dari datang hingga pulang.
Semua kilas balik untuk mengenal Thaha M. Alhamid serta memahami kehidupan yang sesungguhnya tentang Papua yaitu ketika saya berada dikampus yang penuh dengan jati diri pembebasan(seharusnya, red. saat ini), yakni Universitas Cenderwasih. Sebab saya berangkat dari keluarga yang jarang bahkan tak pernah berbagi tentang sejarah kebenaran Papua itu. Semua tentang hubungan teman saya dan Taha Alhamid baru saya ketahui pada tanggal 2 Januari 2016 kemarin, ketika kami berjumpa kembali dalam suasana liburan. Bahwa ternyata ia adalah anak Thaha M. Alhamid.
Dan bila saya menoleh kebelakang dan berbalik memandang kedepan, maka “Berbahagialah mereka yang sadar akan sejarah penindasan dan semua penipuan berkedok kehidupan alami atas tanah ini, dan memilih jalan untuk berjuang kepada sesuatu yang benar-benar, benar”. Berjiwa bangsa, adalah solusi untuk merangkul semua yang berjiwa realistis untuk pembebasan tanah ini.

Ini ceritaku
Samuel Womsiwor

Sekretaris Jenderal GempaR Papua

2 komentar:

  1. kk salut dengan adik punya tulisan, seperti meraingkai kata dalam Novel.

    BalasHapus
  2. Masa lalu yang sangat luar biasa....
    Buat kami kembali ingat masa itu...

    BalasHapus