Jumat, 08 Januari 2016

TERPER (TERBAWA PERASAAN)

TEPER (Terbawa Perasaan)
Samuel Womsiwor
Biro Hukum dan HAM – BEM FISIP Uncen, 2015/2016
Sekretaris Jenderal GempaR
TEPER, ini berawal dari curhat mengenai kondisi kawan-kawan semasa SMA, yang menyalami banyak cerita cinta, sebabnya ini menjadi alasan mengapa tulisan ini diberi judul demikian.
Untuk kawan, Kadav, van Bone, Dista, Ari, pada awal tahun, lewat waktu cerita yang tak begitu banyak, kalian membawaku berpikir tentang alam Papua yang begitu masyhur ternyata adalah benar. Setiap peluang pasti ada jawabannya. Setiap usaha pasti ada hasilnya. Kalian berpikir bagaimana bisa memanfaatkan waktu serta kearifan kalian untuk setidaknya mendapatkan uang demi kelangsungan hidup kalian diatas tanah ini. Kalian rela pergi jauh kemanapun, ditempatkan dimana saja untuk segudang impian yang begitu baik yakni bisa BERDIKARI. Hal yang jarang saya jumpai untuk saudara-saudara saya.


Sampai disini, saya gariskan adalah jalur sebuah kemapanan.

Tetapi yang sangat mengherankan, hampir semua saudara saya jarang mengambil sikap seperti itu, karena “mungkin” mereka anti kemapanan, hehehe. Tetapi ketika saya bertanya pada mereka mengapa tak bekerja(untuk apa saja, sehingga tak “begini-begini saja”), alasannya sederhana, 2020 adalah waktu bagi mereka untuk bekerja, yakni dilaksanakannya Tes Calon Pegawai Negeri Sipil(CPNS), yang belum tentu juga meluluskannya (akibat deskriminasi), seperti kata Ruben Gwijangge dalam kliping ilmiahnya (2014: 93-121). Sehingga tak mengherankan:

ü    ketika saya hendak ke Bank (Papua, Mandiri, BRI, dll) – Saudara saya jarang bahkan tak ada disana yang bekerja –,
ü    ketika saya hendak naik pesawat – Saudara saya jarang bahkan tak ada disana yang bekerja –,
ü    ketika saya hendak makan di warung – Saudara saya jarang bahkan tak ada disana yang bekerja –,
ü    ketika saya hendak naik taksi – Saudara saya jarang bahkan tak ada disana untuk bekerja –,
ü    ketika motor saya rusak dan hendak ke bangkel(resmi dan tak resmi) – Saudara saya jarang bahkan tak ada disana yang bekerja –,
ü    bahkan semua bidang-bidang pekerjaan kini, jarang saya jumpai saudara-saudara saya disana.

Dari peristiwa diatas mungkin jawabannya sederhana yang dilontarkan sebagai pembelaan mereka, ini adalah tanah kami, atau saudara kami ada banyak(yang menduduki jabatan pada instansi tertentu) sehingga tak mungkin susah, atau malu dan minder untuk bekerja pada bidang-bidang seperti itu. Lainnya semua didasarkan pada perasaan tak mampu, tak dapat bekerja dan menduduki bidang-bidang seperti itu. Ini jelas adalah sebuah proses HEGEMONI penguasa(Negara Indonesia) terhadap rakyat Papua, yang secara sadar sedang terjadi. Dan ini merupakan proses yang berlangsung lama sejak dianeksasinya Bangsa Papua ke dalam Indonesia, dimana rakyat Papua selalu di-stereotype-kan sebagai orang tak mampu, bodoh, primitif dan hinaan lainnya, seperti Kata R. Osborne dan Filep Karma dalam buku mereka. Hingga proses Papuanisasi juga dalam pemerintahan di Papua pun sama saja dalam era otonomi khusus, yang konon akan menjawab keterlibatan (saling membantunya) Orang Papua dalam mengisi pembangunan (Muridan, 2008: 9-11). Oleh sebabnya usaha untuk mengharapkan sebuah kesetaraan akan tampak jauh. Sehingga semua usaha untuk menjadi “Tuan” atas negeri sendiri seperti kata “Kaka” Bas Suebu dan para birokrat Papua lainnya serta untuk menjadi daerah yang bebas dari sikap despotisme tampak menjadi cita-cita utopis.

Mari lihat peristiwa Revolusi di Perancis, penggerakanya adalah rakyat Jelata yang mampu bekerja pada semua bidang kerja kaum Bangsawan, atau Revolusi Rusia yang penggeraknya adalah kaum proletar, yang mampu mengisi bidang-bidang yang saat itu menjamah seluruh wilayah rusia, padahal 70% penduduknnya buta huruf. Atau yang digunakan Soekarno untuk revolusi kemerdekaan Indonesia dengan Marhaennya, rakyat yang ia juluki rakyat kecil dengan segala kekayaan SDA yang ada, padahal umumnya juga tak bisa membaca dan menulis. Semua revolusi itu karena rakyat mampu mengisi semua ruang gerak kerja(bukan dengan sikap tak bisa ini dan itu) yang pada prinsipnya pada waktu tertentu akan bergerak bersama, untuk menentukan maju atau mundurnya sebuah syarat revolusi atau untuk menjawab dan menentang penguasa.

Dan bila menilik masalah Papua saat ini, maka sikap dominasi dari kelas yang kuat(dominan) akan membentuk kekuatan kolektif untuk selalu menekan yang lemah yakni orang Papua sendiri, melalui genggaman ideologinya(HEGEMONI), dan kesadaran agar bangkit melawan pada dasarnya dari kelas bawah, untuk menekan sikap dominasi kelas penguasa, tentu membutuhkan waktu yang lama, sulit dan penuh dengan pertentangan, dan kesetiaan orang Papua benar-benar diuji.

Dua kutub yang berbeda yakni ketika berhadapan dengan kawan-kawan saya tadi yang memilih bahwa setiap waktu adalah peluang, keberanian untuk mendapatkan apa saja yang dicita-citakan dengan saudara-saudara saya yang malu dan menganggap diri tak bisa. Ditarik sebuah kesimpulan bahwa yang sedang bergulat atas tanah ini adalah kelas Penguasa(MODAL) dan kelas yang dikuasai.
Sehingga untuk menjawab persoalan Papua, perlu untuk merebut semua bidang-bidang yang menjadi syarat sebuah revolusi dengan membuang HEGEMONI(sikap dan stigma) dari para penguasa dengan yakin bahwa semua orang Papua adalah mampu(kaum intelektual). Dan pada dasarnya, semua bidang-bidang ini harus bersatu untuk melawan. Guru adalah buruh, PNS adalah buruh, Perawat adalah buruh, dan buruh adalah rakyat Papua yang sedang dipekerjakan oleh penguasa(Negara Indonesia) untuk terus melancarkan proses kekuasaanya secara menyeluruh di Tanah Papua dengan gaya neo-kolonialismenya. Sehingga pada waktu tertentu(waktunya Tuhan), rakyat Papua sadar betul akan kebutuhan kebebasan dan berhak melaluinya.

Referensi:
1.        Listiyono, dkk(2015). “Epistemologi Kiri”, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
2.        Andi Rafael Saputra(2014). “Dari Uni Soviet hingga Rusia”, Yogyakarta: Palapa.
3.        Nicholas Abercombrie, Stephen Hill, S. Turner Bryan(2010). “The Penguin Dictionary of Sociology”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
4.        Ruben Gwijangge(2013). “Indonesia Memiskinkan Bangsa Papua”. Papua Barat” Cenderawasih Press.
5.        Osborne Robin(2001). “Kibaran Sampari”.

6.        Widjoyo Muridan S. (2009). “Papua Road Map - Negotiating the Past, Improving the Present and Securing the Future” TIM Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia(LIPI), Jakarta: Pusat Penelitian Politik(P2P) LIPI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar