Selasa, 02 Februari 2016

UNCEN TUA TAPI AWET MUDA “ANTARA INSTITUSI PENDIDIKAN DAN KORPORASI”


Universitas Cenderawasih(UNCEN) berdiri pada 10 November 1962, dimana sebelumnya lewat kumandang Trikora(Soekarno) wilayah Papua berhasil dicaplok pada 19 Desember 1961. UNCEN didirikan sebelum Papua dianeksasikan ke dalam Indonesia tahun 1963 atau  sebelum dilaksanakan PEPERA tahun 1969 yang cacat hukum internasional. Sehingga UNCEN adalah paket untuk menasionalkan Papua kedalam Indonesia. Pada dasarnya UNCEN kental dengan situasi politik Papua saat itu.
Kita tanggalkan sejenak proses sejarah tersebut. Lalu kita lihat UNCEN pada era reformasi ini.
Ditengah gejolak politik Indonesia pada 1997-1998, yakni tuntutan mahasiswa Indonesia untuk menurunkan Soeharto, akibat krisis yang melanda Indonesia, saat yang sama rakyat Papua juga menuntut kemerdekaan Papua, dan aspirasi rakyat Papua tersebut dijawab dengan Otonomi Khusus sebagai solusi jalan tengah untuk konflik politik tersebut. Siapakah yang menggodok Otsus Papua 2001 itu? Mari lihat alm. Ottow Wospakrik, Agus Sumule, Musa’ad dan kroni-kroninya. Dimanakah mereka? Masih terus mendidik mahasiswa? Atau menduduki jabatan politik di tanah Papua? Nilailah sendiri. Lebih lanjut setelah mendapat perlawanan rakyat Papua, yang menganggap Otsus bukan solusi penyelesaian masalah di Tanah Papua, pada tahun 2005, 2010. Otonomi Khusus 2001 kemudian direkonstruksi menjadi Undang-undang Pemerintahan di Tanah Papua atau yang dikenal dengan Otsus Plus dengan dalih merupakan jawaban atas tuntutan rakyat Papua tersebut. Namun, hal itu juga mendapat perlawanan oleh mahasiswa, pada akhir 2013 lalu, karena menganggap itu bukan solusi penyelesaian masalah ditanah Papua dan juga tidak sesuai dengan amanat UU Otsus 2001 pasal 76 dan 77. Siapa pula yang menggodok Otsus Plus tersebut? Sebut saja mereka, alm. Rektor UNCEN dan alm. Pembantu Rektor IV UNCEN, (HUMAS UNCEN), dan akademisi UNCEN lain yang terlibat didalamnya(Otsus Plus versi Akademisi UNCEN). Lalu dimanakah mereka juga? Selain kini bersembunyi dibalik UNCEN, ibarat melempar batu sembunyi tangan. Dan mendapat teguran hamba Tuhan: “Para pengajar telah kehilangan hati nuraninya untuk mendidik mahasiswa”, kata Pdt. S. Nyoman.
Gambaran tersebut menjadi alasan mengapa “UNCEN tua tapi awet muda” seperti ujar seorang dosen yang pernah mengajar disalah satu program studi di FISIP UNCEN, pada tahun 2012 lalu ketika UNCEN genap berusia 50 tahun. Barangkali ini menjadi sebuah gambaran tentang wajah UNCEN yang sebenarnya. Mengapa seperti demikian. Sebut berapa dosen yang mengajar pada setiap Program Studi? Mampukah mereka mengajar selama 3 SKS? Atau 12 Pertemuan hingga maksimalnya 16 pertemuan? Sepertinya jarang ditemukan. Selain para cendekiawan UNCEN itu sibuk untuk menggali proyek tawaran Perusahaan yang hendak masuk ke Papua atau yang telah beroperasi(dari bersyarat hingga tidak) dosen Uncen siapkan Amdalnya, lihat pula, kebijakan dari Negara Indonesia kepada rakyat Papua yang selalu menuntut penyelesaian persoalan di Tanah Papua secara adil dan bermartabat, dosen Uncen kemudian mengambil solusi yang mereka “anggap” sebagai penyelesaian masalah tersebut, seperti masuk dalam tim akademisi Otsus Papua 2001 dan Otsus Plus, Unit Percepatan Pembangunan bagi Papua dan Papua Barat(UP4B), kegiatan politik lainnya, setelah itu mendapat penghargaan berupa upah yang besar dan tawaran untuk menduduki staf ahli atau jabatan politik tertentu, lebih lagi untuk menambah uang saku, dosen Uncen membuka kelas jauh, yang mendapat bayaran hingga miliaran rupiah sekali mengadakan kuliah hingga yudisiumnya(Kuliah 6 bulan langsung wisuda), bahkan lebih mengutamakan mereka dibanding mahasiswa yang berstatus regular, yang katanya miskin dan kurang besar biaya pembayarannya, yang menyebabkan mahasiswa(regular) terlantar dan dosen akan kembali pada akhir semester, sembari memberi 12 kali tanda tangan, mengACC kartu kuliah, dan memberi ujian yang sebelumnya kurang dari 5 kali pertemuan. Lalu awal semester pengajaran seperti layaknya perburuan waktu proyek, dan dosen sibuk mencari job diluar kampus yang pasti menggiurkan, dan kemudian pada akhir semester dosen memaksa mahasiswa untuk belajar dalam sehari(bertatap muka) hingga 4 kali untuk mengejar waktu yang telah dosen lewati(lalaikan), kemudian mengancam mahasiswa yang coba memprotes, “kamu yang memberikan nilai atau dosen”? Hal itu yang kemudian menjadi jerat atau bius kepada mahasiswa untuk terus melihat realita tersebut. Tri Dharma Perguruan tinggi dipahami sebagai langkah untuk menggaet berbagai jaringan atau mitra untuk terus mendapatkan laba. Sedang mahasiswa yang menjadi target pengajaran dibiarkan begitu saja. Maka tak heran Uncen dikatakan Tua tapi awet muda.
Sebut berapa dosen yang pernah, memotivasi mahasiswa untuk menangkan realita disekitarnya? Masyarakat Papua yang mati tiap harinya, akibat terror dan intimidasi serta kelalai Negara yang berujung pelanggaran HAM. Adakah dosen yang pernah mengajari mahasiswa untuk geram melihat sekelompok anak kecil yang berkeliaran di Saga Mall Abepura sambil menghisap Lem Aibon? Atau mereka yang “tuna wisma” duduk di emperan toko sambil berjualan atau meminta? Atau mama-mama Papua yang berjualan beralaskan karton, karung beras, hingga terkena debu jalanan hanya untuk menghidupi kebutuhan hidupnya atau kepada anaknya yang berpendidikan?
Selain dosen dan kampus ini meneror mahasiswa, seperti yang terjadi pada tanggal 12 Oktober 2015(jika tidak salah) yakni Rektor mengeluarkan 6 aturan khusus bagi mahasiswa. 1. Mahasiswa dilarang menebang, membawa kayu dalam lingkungan kampus; …. 6. Mahasiswa dilarang memalang kampus, dan jika melanggar akan berhadapan dengan pihak berwenang.
Siapa juga yang berani mengelak hal itu? Selain mereka(Mahasiswa) yang hanya menolak aturan itu dengan memalang kampus. Tetapi, siapa(dosen) yang pernah memarahi dosen, yang tinggal pada perumahan milik kampus UNCEN yang meluaskan wilayah rumahnya dengan membangun halaman parkir, membuat taman, kebun ataupun ternak-ternak kecil, hingga tinggal layaknya rumah pribadi? Atau adakah dosen yang merangsang mahasiswa untuk memprotes Papan iklan REKTOR UNCEN yang memberi selamat Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2015 yang dipasang pada papan iklan padang bulan, dekat kampus USTJ? –Papan iklan yang masih terpasang hingga sekarang– Darimanakah uang pamasangan iklan itu? Jawabannya mungkin ada pada tanggal 17-19 November 2015, ketika mahasiswa menuntut kampus agar mengembalikan uang mereka akibat pungutan liar dan dijawab dengan pengembalian uang tuntutan mahasiswa tersebut. Jadi teringat pada awal SPP tunggal(Uang Kuliah Tunggal-UKT) itu dijalankan dengan alasan mengatur Pembayaran iuran kuliah satu kali dalam setiap semester hingga lulus kepada mahasiswa. Dan sesuai dengan surat edaran Dikti pada 5 Februari 2013(Nomor 97/E/KU/2013), kebijakan ini akan diberlakukan pada tahun 2013. Lalu mengapa hal ini diberlakukan pada UNCEN sejak tahun 2012? Melihat hal ini, dosen siapa yang berani untuk memprotes hal tersebut atau membenarkan tuntutan mahasiswa tersebut? Selain saling mendikte satu sama lain seperti yang terjadi ketika pihak kampus datang untuk menenangkan mahasiswa yang berdemo saat itu(17/11-2015). PR II menyalahkan PR III, sebaliknya nanti PR III akan menuduh Rektor dan begitulah seterusnya, karena merekalah yang memegang “kunci” itu sendiri.
Setiap tahun, pada penerimaan mahasiswa baru. Nasihat dari pimpinan kampus UNCEN pasti sama saja, “Belajar yang baik, selesaikan kuliah dalam 4 tahun atau cepatnya 3 tahun, kemudian kembali untuk membangun daerah”. Bahkan senior-senior yang dianggap berhasil didatangkan pula dengan alasan menjadi motivasi dan juga memberi motivasi yang sama pula. Pertanyaannya? Dimanakah 5000an sarjana UNCEN yang diwisudakan? Untuk apa FKIP, jika para guru terus didatangkan dari luar Papua? Untuk apa Fakultas Kedokteran, jika tenaga ahli medis didatangkan terus tiap tahunnya dari luar Papua? Bahkan para pasien dibiarkan terlantar, dengan jumlah fasilitas yang minim ditengah gelontoran milyaranan dana Otsus hingga RS. Abe yang sempat diliburkan dua hari pada tanggal 24 dan 26 November 2015 dengan alasan stok air habis. Aneh. Lalu untuk fakultas Hukum, jika melihat aparat polisi terus memasuki wilayah kampus tanpa ada kajian terhadapnya? Padahal, sikap arogan polisi tersebut telah melanggar UU no. 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat dimuka Umum, dan juga UU. No 12 tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa, yang menyatakankan kampus adalah lembaga ilmiah dan bebas dari kotrol aparat polisi.
Eko Prasetyo dalam tulisannya sama dengan situasi dikampus UNCEN kini, bahwa hanya ada tiga isu penting: Mengingatkan Pembayaran, Menganjurkan menjaga lingkungan, dan Menginformasikan kegiatan, dan ini mudah terdapat pada setiap pojok keramaian mahasiswa. Mahasiswa UNCEN dewasa ini menjadi salah satu daya tarik dari berbagai lembaga pemerintahan maupun lembaga non pemerintahan. Ini terlihat dengan ditawarkannya berbagai kegiatan ekstrakulikuler hingga berbagai kegiatan akademisi yang tujuannya adalah konon untuk berbagi pengetahuan hingga kerjasama kepada mahasiswa. Tidak heran bila dalam setiap even-even besar mahasiswa, pasti ada sponsor-sponsor tertentu yang datang untuk menggaet kegiatan mahasiswa tersebut. Mulai dari pengadaan barang dan jasa yang tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan lapangan mahasiswa, dan tak jarang pula menggunakan mahasiswa ataupun senior dan alumni UNCEN yang dianggap popular untuk menjadi daya tarik tersendiri terhadap sponsor dukungan itu. Hal ini berdampak jauh terhadap independensi mahasiswa yang seharusnya tidak terkooptasi dengan kepentingan elit manapun dan sejalan dengan Pedoman Organisasi mahasiswa sebagai tercantum dalam Kepmendikbud no. 155 tahun 1998, dan AD/ART Kabesma UNCEN sendiri. Dalam keadaanya terlihat juga ketika lembaga UNCEN juga memainkan perannya terhadap niat yang dianggap “baik” oleh elit-elit tertentu tersebut, dengan membiarkan keadaan itu terus menghujani organisasi mahasiswa.
Melihat dinamika diatas, mahasiswa UNCEN pada akhirnya menjadi pasrah dengan keadaan tersebut sehingga menganggap ini adalah sebuah kebiasaan serta rutinitas dan atau melatih kepopulerannya yang pada nantinya menjadikan ini sebagai panggung untuk turut menghancurkan independensi mahasiswa itu sendiri. Maka, jelaslah pernyataan yang dikeluarkan Presiden Mahasiswa USTJ, pada demo 26 Juni 2015 dihalaman DPR Papua bahwa “Mahasiswa STOP Melacurkan diri” sebuah pernyataan yang sesungguhnya menjadi gambaran umum tentang mahasiswa Papua (red. Jayapura) saat ini.
Selain itu, dalam menjalankan tugas kepengurusan mahasiswa(BEM dan MPM UNCEN) kemudian menaikkan iuran SMPT dari Rp. 20.000,- menjadi Rp. 50.000,- dengan alasan menunjang dinamika dan aktivitas mahasiswa UNCEN seperti yang terpampang pada baliho di halaman kampus UNCEN Abe. Dan kenaikan iuran UKT Mahasiswa atau SPP dianggap sebagai suatu penyesuaian terhadap keadaan zaman atau modernisasi dan juga untuk pengembangan rutinitas kegiatan mahasiswa. Yang menjadi soal? Dimanakah Miliaran uang mahasiswa yang sebelumnya dikenakan biaya Rp. 20.000,- x ±5000an mahasiswa yang tidak sebanding dengan kegiatan dan pengeluaran mahasiswa, dan atau SPP tunggal(Uang Kuliah Tunggal-UKT) yang pembayarannya diluar kemampuan orang tua mahasiswa dan pembayaran SPP tunggal(Uang Kuliah Tunggal-UKT) tersebut masih saja diselingi dengan pungutan liar dari dosen tertentu –yang tidak sesuai dengan rincian pembayaran SPP tunggal(Uang Kuliah Tunggal-UKT)– tanpa ada pengawasan dari pihak pimpinan kampus sehingga ini tampak seperti pembiaran sistematis. Belum lagi jika bertanya kepada lembaga Uncen, dimanakah Uang Triliunan dana Otsus untuk kebijakan afirmatif dibidang pendidikan(30%), tentu Uncen mendapatnya bukan? Apalagi Uncen adalah pemikirnya. Bagaimana jika ditanyakan, dimanakah bantuan dari pusat, kementerian Pendidikan? Atau bantuan dari mitra-mitra lain? Dimana uang tersebut? Lalu penggunaan sarana atau tempat kegiatan Ilmiah Mahasiswa yakni Auditoirum yang masih selalu saja dijadikan sebagai sarana pernikahan persorangan hingga pernikahan masal buatan pemerintah, dengan biaya pembayaran yang mahal, kisaran puluhan hingga ratusan juta pun lenyap tanpa ada kejelasan dana tersebut, atau setidaknya uang tersebut digunakan untuk operasinal peningkatan mutu organisasi mahasiswa.
Dari kejadian tersebut, maka tidak aneh jika lembaga UNCEN terus sibuk untuk merombak dan mengintervensi gerakan mahasiswa sebagaimana pada papan yang pernah dipasang pada pagar kampus UNCEN waena pada point keenam, yakni “mahasiswa dilarang berdemo, dan jika melanggar akan berhadapan dengan pihak berwenang” hingga penguluran waktu pelantikan pimpinan mahasiswa, penundaan bahkan penolakan terhadap suatu kegiatan mahasiswa yang dianggap berlawanan dengan kepentingan kampus. Dan jika tidak ada mahasiswa yang kritis terhadap hal yang dianggap adalah suatu masalah, maka beginilah keadaannya.
Sehingga tak ada salahnya UNCEN dijadikan tempat untuk basis massa demonstrasi, pagarnya dijadikan tempat untuk melawan pemerintah dan atau dijadikan tempat sebagai tawaran solusi kebijakan ditanah Papua. Karena UNCEN adalah lembaga Koorporasi berwajah Institusi Pendidikan.
LAWAN!!!
 “Tak ada kepentingan apapun dalam penulisan ini, namun ini menjadi sebuah catatan yang setidaknya (diharapkan) membawa perubahan dikampus Uncen, sesuai dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang selayaknya dan Perguruan Tinggi yang sesuai dengan kebutuhan Rakyat Papua dewasa ini”
Samuel Womsiwor, Sekjen GempaR
Kuliah di Universitas Cenderawasih sejak 2011



Referensi:
UU no. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua
UU no. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat dimuka Umum
UU no. 12 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa
Musa’ad Muhammad(2004) “Menguak Tabir Otonomi Khusus Papua”. Bandung: ITB
Musa’ad Muhammad (2012). “Quo Vadis Otsus Papua, Diantara Tuntutan rekonstruksi dan referendum”, Bandung: Thafa Media.
Hok Gie Soe(1986). “Catatan Harian Seorang Demonstran: Soe Hok Gie”. Pustaka LP3ES
Prasetyo Eko, (2015), “Bangkitlah Gerakan Mahasiwa” . Malang: Intrans Publishing
Tulisan: Yason Ngelia, 2013. “UNCEN dan Otsus Papua”,
Google: Tabloidjubi.com, Majalahselangkah.com, Suarapapua.com, Cenderawasih Pos, Facebook
Referensi Lapangan:
Demostrasi 26 Juni 2015, dihalaman kantor DPRP.
Keluhan-keluhan dari teman-teman mahasiswa
Wawancara, 2 Narasumber, untuk kasus RSUD Abepura dan Kasus Pungli UNCEN, pada 12 Desember 2015.

Hasil Diskusi dengan aktivis mahasiswa Uncen, pada 15 Desember 2015, di Kampus FISIP UNCEN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar